humastangsel.com – Kasus penggelapan tanah di Banten menjerat AD (42) yang berstatus sebagai Kepala Desa (Kades) Bojong Catang, Kecamatan Tunjung Teja, Kabupaten Serang, Banten. Satu lagi adalah HH (42), yang menjaul tanah seluas 200 dan 400 meter persegi milik orang lain.
Keduanya melakukan persekongkolan dalam menjual tanah dengan memalsukan dokumen milik Ahmad Khotib (81) pemilik tanah.
Direktur Ditreskrimum Polda Banten, AKBP Dian Setyawan mengatakan kasus bermula pada 2018 lalu ketika HH menjual tanah seluas 200 dan 400 meter persegi milik Ahmad Khotib kepada dua orang yang berbeda. Tanah seluas 200 meter persegi itu dijual kepada seorang berinisial DM seharga Rp13,5 juta. Kemudian tanah lainnya seluas 400 meter persegi kepada orang berinisial UP seharga Rp24 juta.
HH melakukan penjualan tanah tersebut tanpa menyertakan dasar kepemilikan tanah. Setelah dua tahun kemudian, pada 2020 HH berniat melegalkan status tanah tersebut. Ia mengajukan beberapa dokumen warkah kepada AD. Oknum Kades Bojong Catang, Kecamatan Tunjung Teja ini menandatangani dokumen tanpa melakukan pengecekan pada dokumen di kantor Desa.
Kemudian HH menggunakan dokumen warkah yang sudah ditandatangani untuk mengajukan permohonan mutasi nama wajib agar namanya berubah. Sehingga pada tahun 2021, SPPT dari bidang tanah tersebut sudah berubah nama wajib pajaknya.
Baca Juga:
Pemblokiran AHU Tak Geser Posisi Hendry Ch Bangun sebagai Ketua Umum PWI Sah
Kelurahan Peduli Pilkada di Tangsel Tuai Pujian, Bawaslu: Ini Tameng Serangan Fajar
“Berubah nama dari awalnya atas nama Safei bin Duradjak menjadi nama tersangka HH (Hikmatul Huda),” kata Dian dalam keterangan resminya Polda Banten, dilansir Bantennews.co Senin (18/11/2024).
Lantaran terkejut dengan perubahan nama ini, Ahmad Khotib yang mengaku sebagai ahli waris Safei merasa dirugikan dan melaporkan kejadian itu ke Polda Banten. Keduanya pun langsung diamankan.
Adapun motif ekonomi jadi alasan keduanya bersekongkol melakukan penggelapan. “Mendapatkan keuntungan dengan menjual bidang tanah tanpa sepengetahuan dan seizin yang berhak,” imbuhnya.
Keduanya disangkakan melanggar Pasal 385 dan atau Pasal 263 Jo Pasal 55 dengan Pasal 263 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun.